Pesta Tahta Santo Petrus
Istilah Tahta Suci berasal dari bahasa Latin Sancta Sedes, artinya “Kursi Suci,” bermula dari upacara penobatan Uskup Roma, yaitu paus. Tepatnya, cathedra, yang berarti kursi atau tahta, melambangkan kedudukan dan wewenang Bapa Suci atau seorang uskup, dan tempat di mana ia tinggal dalam wilayah yang termasuk wewenangnya. Di sini, Tahta Suci menunjuk pada “kursi pemerintahan” Gereja universal. Secara geografis, kursi pemerintahan ini berada di Keuskupan Roma. Dalam istilah pemerintahan yang sesungguhnya, Tahta Suci secara spesifik menunjuk pada kedudukan Bapa Suci, yang “berdasarkan tugasnya, yakni sebagai Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja; dan kuasa itu selalu dapat dijalankannya dengan bebas” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #22), dan diperluas hingga ke Kuria Romawi, yang terdiri dari Sekretariat Negara atau Kepausan, Dewan Urusan Umum Gereja, Kongregasi-kongregasi, Pengadilan-pengadilan, dan Lembaga-lembaga lainnya (Kitab Hukum Kanonik, #360).
Istilah “Tahta Suci” juga disamaartikan dengan istilah “Tahta Apostolik”. Kitab Hukum Kanonik mendefinisikannya sebagai berikut: “Dengan nama Tahta Apostolik atau Tahta Suci dalam Kitab Hukum ini dimaksudkan bukan hanya Paus, melainkan juga Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, Lembaga-lembaga lain Kuria Romawi, kecuali jika dari hakikat perkara atau konteks pembicaraannya ternyata lain” (Kitab Hukum Kanonik, #361).
Istilah “tahta,” berasal dari bahasa Latin “sedes,” sesungguhnya merupakan istilah teknis bagi semua keuskupan dan tempat kediaman para uskup. Sebagai contoh, Mgr Yohanes Hadiwikarta (alm) adalah uskup dari “Tahta Surabaya” dan katedral kediamannya adalah Katedral Hati Kudus Yesus, juga di Surabaya; katedral juga adalah tempat cathedra atau tahta uskup. Pada awalnya, sedes menunjuk pada Gereja-gereja yang dibangun para rasul, dan di kemudian hari secara istimewa terbatas pada lima tahta patriarkat besar: Roma, Kosntantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem; yang menarik, hingga saat ini, keempat Gereja-gereja Patriarkal ini (Gereja-gereja Ortodoks Timur) mengakui keunggulan Roma dan mengakui primat kehormatan Bapa Suci.
Pemahaman dan susunan ini tercermin dalam maklumat para paus. Sebagai contoh, Paus Gelasius I (492-496) menyatakan, “Est ergo prima Petri apostoli sedes” (“Karena itu, pertama-tama adalah Tahta Rasul Petrus”). Dalam Liber Pontificalis oleh Paus Leo III (795-816), tercatat sebagai berikut, “Nos sedem apostolicam, quae est caput omnium Dei ecclesiarum judicare non audemus” (“Kami tidak berani mengadili Tahta Apostolik, yang adalah pemimpin dari segenap Gereja-gereja Allah”). Jelas, istilah “Tahta Suci” dan “Tahta Apostolik” mengalami perkembangan hingga secara spesifik menunjuk pada wewenang Bapa Suci dan Keuskupan Roma.
Sungguh menarik bahwa setiap tanggal 22 Februari, Gereja merayakan Pesta Tahta St Petrus. Merayakan pesta sebuah “kursi” terasa janggal, saat kita pertama kali mendengarnya. Tetapi, “kursi” yang dimaksud menunjuk pada primat dan wewenang yang dipercayakan Yesus Kristus kepada St Petrus, di mana keduanya secara bersama-sama merupakan suatu kekuatan pemersatu bagi segenap Gereja; jadi, sungguh, “Tahta Suci” yang sesungguhnya dirayakan dan dihormati. Primat dan wewenang ini dilambangkan dengan kursi St Petrus yang ditempatkan dekat dinding di belakang altar utama Basilika St Petrus, dalam suatu pahatan karya seni oleh artis Bernini; pahatan tersebut merupakan wadah reliqui dari apa yang secara tradisional diyakini sebagai kursi asli atau cathedra St Petrus. Lagi, yang terpenting bukanlah hal keaslian kursi itu sendiri, melainkan apa yang dilambangkan oleh kursi tersebut, yaitu Tahta Suci.
(Peter Suriadi – 22 Februari 2020)