Keluarga sebagai Sekolah Pengembangan Kemanusiaan.
Kita baru saja selesai mengikuti dan berpartisipasi dalam pesta demokrasi lima tahun sekali yang diadakan di negeri kita tercinta ini. Tahun ini juga diadakan pemilihan pemimpin nasional atau presiden, dan setelah melalui proses yang panjang akhirnya pemimpin untuk periode 5 tahun kedepan sudah ditetapkan. Beliau akan memusatkan pembangunannya dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia, sehingga bangsa ini dapat lebih maju dan sejahtera.
Bagaimana kita sebagai orang Katolik yang juga 100% Indonesia bisa berkontribusi terhadap pembangunan sumber daya manusia dan sekaligus juga mengeksplorasi sumber-sumber baru dalam usaha menuju individu yang dapat berkontribusi lebih banyak dalam masyarakat ?. Pertama-tama, sumber daya manusia yang baik dan mumpuni tidak lepas dari manusia yang secara fisik dan mental juga baik. Untuk pertumbuhan fisik yang baik diawali dengan ibu yang sehat sewaktu mengandung bayinya; selanjutnya perkembangan fisik lebih mudah dilihat dan diukur melalui asupan gizi dan parameter lain yang menjadi ukuran-ukuran index kesehatan, tentunya juga dengan upaya yang tak putus-putusnya dari orang tua untuk menghindarkan anak-anaknya dari berbagai penyakit, kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung kesehatan fisik atau bahkan kecelakaan yang akan mengakibatkan perkembangan fisik terganggu. Dikatakan bahwa keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif dalam menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan.
Dibandingkan dengan perkembangan fisik, yang sudah mempunyai tolak ukur yang umum dan mapan; perkembangan mental tidaklah terlalu kasat mata, sehingga bagi orang tua lebih sulit mengevaluasinya. Padahal tugas pembangunan moral/ etika yang pada akhirnya membentuk karakter generasi penerus yang merupakan tanggung jawab yang tak terelakkan, dan seyogyanya dilaksanakan dengan penuh kesadaran, antusias, wajar dan tepat. Terutama dimasa sekarang, dimana peran pendidikan dalam keluarga ini begitu penting dalam perkembangan kemanusiaan.
Lalu bagaimana orang tua menyikapi situasi ini ? bersyukur kita mempunyai seorang gembala yang menaruh perhatian sangat besar dalam permasalahan keluarga. Dalam seruan apostoliknya yang dikenal dengan nama Amoris Laetitia (Sukacita Kasih), khususnya bab 7, Paus Fransiskus membahas banyak aspek dari pendidikan moral dalam keluarga yang dapat kita jadikan pedoman dalam pendidikan sehari-hari. Beliau menyatakan bahwa kehidupan keluarga merupakan ajang pendidikan generasi penerus, karena keluarga merupakan sekolah pertama nilai-nilai kemanusiaan, dan sejumlah kebiasaan dipelajari sejak dini dengan menggunakan kebebasan. Kebiasaan baik yang dipelajari didalam keluarga dapat dikembangkan menjadi perilaku eksternal yang sehat dan stabil; misalnya sikap sosial dan terbuka kepada orang lain akan keluar dengan sendirinya bila orang sudah terbiasa/berlatih bersikap seperti itu dalam keluarga. Pembentukan etika pada anak memerlukan pengalaman mendasar untuk meyakini bahwa orang tua dapat dipercaya, artinya orang tua sebagai pendidik bertanggung jawab untuk menciptakan kepercayaan pada anak-anak dan mengilhami mereka dengan rasa hormat penuh kasih.
Keluarga juga merupakan tempat pendidikan untuk mengetahui bagaimana setiap anggota keluarga bersikap diluar rumahnya sendiri. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam bersosialisasi, disinilah kita pertama kali belajar ber relasi dengan orang lain, mendengar dan berbagi, mendukung dan menghargai, saling menolong dan hidup bersama. Disini juga kita belajar tentang kedekatan, kepedulian, dan rasa hormat kepada orang lain, disini pula dibangkitkan suasana kekeluargaan yang akan menjalar dalam lingkungan masyarakat dan dunia. Didalam keluarga pulalah lingkaran keegoisan dipatahkan, dengan mengakui bahwa kita hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain yang layak menerima perhatian, kebaikan dan kasih sayang kita.
Didalam keluarga pula secara bersama kita belajar menjaga lingkungan sebagai rumah bersama kita, dengan tidak henti-henti mengevaluasi lagi kebiasaan kita menggunakan sumber daya alam, menemukan cara-cara baru untuk melakukan penghematan dan meninggalkan kebiasaan pemborosan. Dengan cara yang sama, masa-masa yang sulit dan berat dalam hidup berkeluarga dapat menjadi saat pembelajaran. Misalnya secara umum saat-saat salah satu anggota keluarga sakit bisa memperkuat ikatan keluarga. Suatu pendidikan yang gagal mendorong sensitivitas terhadap penyakit manusiawi membuat hati menjadi dingin; anak-anak muda akan menjadi mati rasa terhadap penderitaan orang lain dan tidak mampu menghadapi penderitaan dan menghayati pengalaman keterbatasan.
Kematangan cara berpikir, kebijaksanaan, pertimbangan baik dan akal sehat seseorang, tidak hanya tergantung dari pertumbuhan fisik namun lebih pada seluruh rangkaian unsur yang terangkum dalam diri setiap orang, tepatnya di pusat kebebasan kita. Pendidikan untuk pendewasaan ini termasuk mendorong kebebasan bertanggung jawab sehingga ketika sampai pada suatu titik persimpangan seseorang mampu memilih dengan tepat dan cerdas. Menyadari dengan sepenuhnya bahwa hidupnya sendiri, hidup komunitasnya berada ditangan mereka sendiri, dan bahwa kebebasan itu sendiri merupakan anugerah yang sungguh-sungguh besar.
Yang cukup menarik juga untuk diterapkan dimasa ini adalah ketika dunia dikuasai oleh kecemasan dan kecepatan teknologi, tugas paling penting keluarga adalah untuk mendidik kemampuan untuk menunggu. Tidak berarti melarang anak/ kaum muda bermain dengan perangkat elektronik, namun menemukan cara dalam diri mereka kemampuan untuk membedakan bermacam logika, dan tidak menerapkan kecepatan digital dalam segala bidang kehidupan. Menunda suatu hal hanyalah membiarkan proses berjalan secara alami sehingga sesuatu hal terjadi, bukan menyangkalnya. Bila anak-anak atau kaum muda tidak diajarkan untuk menerima bahwa beberapa hal harus menunggu maka mereka akan tumbuh menjadi orang yang menguasai segalanya untuk memuaskan kebutuhan mendesak mereka dan bertumbuh dengan kebiasaan buruk. Sebaliknya bila orang dilatih untuk belajar menunda beberapa hal, dan menunggu saat yang tepat, ia akan belajar apa artinya menjadi tuan atas diri sendiri dan berdaulat dihadapan dorongan-dorongan hatinya.
Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter generasi mudanya berakibat tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter, lebih luas lagi akan mempersulit institusi-institusi dalam masyarakat untuk berkembang. Dengan beberapa pedoman yang telah diuraikan diatas, diharapkan keluarga sebagai sekolah pertama dapat menjadi tempat yang menunjang perkembangan mental secara optimal sehingga muncul orang-orang muda yang berkarakter kuat yang berkarya ditengah masyarakat.
(Ignatia Diah Praswati)