Aksi Puasa Pembangunan 2020 Keuskupan Bogor
“UMAT KEUSKUPAN BOGOR BERKIPRAH MENYELAMATKAN BUMI DARI SAMPAH PLASTIK”
Setengah abad yang lalu masyarakat belum banyak mengenal plastik. Mereka lebih banyak menggunakan berbagai jenis bahan organik. Pada dekade tujuh puluhan orang masih menggunakan tas belanja dari rotan, bambu, wadah makan dan membungkus makanan dengan daun jati/daun pisang. Sedangkan sekarang kita berhadapan dengan barang-barang sintetik sebagai pengganti bahan organik yaitu bahan-bahan dari plastik. Plastik adalah salah satu bahan yang dapat kita temui di hampir setiap barang. Mulai dari botol minum, alat makanan (sendok, garpu, wadah, gelas), kantong pembungkus/kresek, TV, kulkas, pipa paralon, plastik laminating, gigi palsu, sikat gigi, compact disk (CD), cat kuku, mainan anak-anak, mesin, alat-alat militer hingga pestisida.
Tetapi kini, sejak kita bangun pada pagi hari dan menggosok gigi, hingga kita menghabiskan sisa hari bersama keluarga pada penghujung hari, plastik ada di sekitar kita. Sangat banyak sehingga sangat sulit membayangkan meninggalkan pasar tradisional atau supermarket tanpa setidaknya satu jenis barang yang tidak dibungkus plastik. Sangat banyak sehingga sangat sulit membayangkan pergi ke pantai dan tidak menemukan sampah plastik berserakkan. Sangat sulit membayangkan di sekolah ada peraturan tentang kemasan plastik.
Sampah Plastik
Plastik ada di mana-mana sampai burung-burung pun menggunakannya untuk membangun sarang. Begitu banyak plastik yang telah dikonsumsi sampai ada sebuah wilayah yang luasnya lebih besar dari Prancis yang merupakan kumpulan sampah plastik yang berputar di setiap kedalaman di Samudera Pasifik Utara. Sifat plastik yang tahan lama membuat setiap plastik yang pernah dibuat tetap bertahan, dan akan tetap ada untuk minimal 500 tahun. Ilustrasinya seperti ini, bila Leonardo da Vinci minum air dari sebuah botol plastik ketika dia melukis Monalisa, botol itu belum terurai seutuhnya saat ini. Menurut para peneliti dari Environment Agency Austria dan Medical University of Vienna, setengah dari seluruh plastik yang ada saat ini, berasal dari abad ke-21. Namun sayangnya, hanya 20% sampah plastik yang didaur ulang. Pada akhirnya, sekitar 10 miliar ton plastik berakhir di lautan setiap tahunnya. Plastik, yang dahulu menjadi sebuah solusi, sekarang menjadi sebuah masalah.
Indonesia sendiri memiliki penduduk pesisir sebesar 187,2 juta yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik. Sekitar 1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan. Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut (10,73%) setelah Tiongkok yang mencapai 3,53 juta ton per tahun (25,79%). Filipina berada di urutan ketiga dengan 0,75 juta ton per tahun, diikuti Vietnam yang dengan 0,73 juta ton per tahun, dan Sri Lanka yang mencapai 0,64 juta ton per tahun.
Plastik yang ada di lautan bisa berasal dari daratan maupun perairan. Polusi plastik dari perairan mengacu kepada sampah sisa-sisa alat penangkap ikan seperti jaring, tali, dan bangkai kapal. Sementara yang dari daratan berasal dari kehidupan modern manusia, di mana plastik kerap digunakan sebagai ‘barang sekali pakai’ seperti botol, gelas, dan alat makan plastik, serta pembersih telinga.
Sampah plastik sangat berbahaya termasuk bagi hewan laut karena mereka akan mengira plastik sebagai makanannya dan akhirnya mengonsumsinya. Penyu misalnya, mereka tidak dapat membedakan kantung plastik dengan ubur-ubur, sehingga kerap mengonsumsinya tanpa sengaja. Saat sampah plastik masuk ke pencernaan hewan laut, itu dapat menyebabkan penyumbatan dan akhirnya kematian.
Hewan laut yang berada di perairan dalam pun tak bisa menghindari ancaman sampah plastik. Pasalnya, kantung plastik belanjaan berhasil ditemukan di kedalaman 10.994 meter di Palung Mariana. Perlu diketahui bahwa Palung Mariana merupakan tempat terdalam di Bumi. Fakta ini membuktikan betapa daruratnya masalah sampah plastik di dunia.
Belakangan ini digadang-gadangkan alternatif plastik “ramah lingkungan” (plastik biodegradable) yang muncul sebagai solusi dari sampah plastik yang jumlahnya terus meningkat. Plastik “ramah lingkungan” yang diklaim akan terurai dalam waktu singkat bermunculan. Tetapi apakah plastik biodegradable ini sesuai dengan klaimnya yaitu bisa hancur dengan cepat dan merupakan solusi yang tepat? Ternyata tidak.
Permasalahan sampah plastik kian menjadi rumit dengan timbulnya mikroplastik. Bahaya yang tak kasat mata ini dipicu praktek buruk membuang sampah berupa cemaran partikel mikroplastik di lautan. Mikroplastik ialah partikel plastik yang berdiamater antara 5 milimeter (mm) atau sebesar biji wijen hingga 330 mikron (0,33 mm). Mikroplastik berasal dari plastik yang terdegradasi akibat sinar ultraviolet dan proses mekanis sehingga menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.
Berdasarkan sumbernya, mikroplastik terbagi menjadi dua jenis, mikroplastik primer dan sekunder. Mikroplastik primer diproduksi dengan mengolah bahan polimer mentah menjadi microbeads yang digunakan untuk produk kosmetik atau perawatan tubuh, seperti scrub pada pembersih muka maupun lulur. Selain itu, diproduksi untuk industri tekstil. Sementara, mikroplastik sekunder terbentuk dari penguraian benda berbahan plastik yang berukuran lebih besar akibat faktor alam, seperti gelombang laut, panas, maupun bakteri. Benang-benang pada baju yang berbahan poliester juga lambat laun bisa terlepas.
Mikroplastik tidak bisa segera meluruh, butuh puluhan sampai ratusan tahun. Begitu partikel itu masuk tubuh organisme, terakumulasi di jaringan tubuh, dan meracuni organ hati. Di lautan, mikroplastik yang termakan ikan atau menempel di karang terakumulasi di rantai makanan. Makin besar ikan predator, kian tinggi potensi cemaran plastik mikronya. Jika itu dimakan, tubuh kita tercemar partikel plastik.
Bijaksana Menggunakan Plastik
Kita sebagai orang beriman menghadapi kemendesakan untuk segera bertindak sesuatu, memberikan sumbangan paling cerdas dan penyelesaian yang paling mudah diterapkan. Landasannya, kita harus melihat penggunaan plastik dan sampah plastik bukan lagi sebagai sesuatu yang di luar iman atau tidak ada kaitannya dengan iman. Perbuatan manusia harus menyiratkan iman. Solusi di dalam permasalahan itu ialah berbicara mengenai sifat bijaksana seseorang.
Bagaimana kita dapat bertindak bijaksana? Kitab Kebijaksanaan Salomo (9:1-18) memberikan jawabannya. Betapapun sempurnanya seorang manusia, ia tetap memerlukan kebijaksanaan yang merupakan karunia Allah. Dengan kebijaksanaan Tuhan menciptakan manusia agar ia menguasai segala makhluk dan memerintah dunia dengan suci dan adil. Tetapi yang sering terjadi manusia tidak bijaksana sehingga ia tidak dapat menangkap kehendak Allah. Manusia menganggap jalan yang dikehendakinya sendiri sebagai kehendak Allah, padahal keinginan hatinya itu seringkali malah menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan. Padahal jika ia bijaksana, ia akan mencari kehendak Tuhan yang dapat menjadikannya bahagia.
Berkaitan dengan penggunaan plastik, kita seyogyanya harus mempertahankan keselarasan bumi dan segala isinya. Oleh karena itu, kita harus menggunakan plastik dalam batas kewajaran agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kita sendiri, bumi dan segala isinya. Itulah yang dinamakan bertindak bijaksana dalam menggunakan plastik!
Kiprah Kita untuk Menyelamatkan Bumi dari Sampah Plastik
Sehubungan dengan sampah plastik, data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 membuat kita miris. Data tersebut mengatakan bahwa lebih dari 72 persen masyarakat Indonesia tak peduli sampah plastik. Apakah kita termasuk kelompok 72 persen atau kelompok 28 persen? Jika kita masih termasuk kelompok 72 persen, maka kita perlu melakukan pertobatan dalam Masa Prapaskah ini.
Dalam rangka Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2020, pertobatan kita, umat Keuskupan Bogor, terwujud jika kita berkiprah menyelamatkan bumi dari sampah plastik. Bagaimana kita berkiprah? Acuannya adalah hierarki pengelolaan sampah. Dalam hierarki pengelolaan sampah ada prioritas yang harus diikuti dan dipatuhi (lihat gambar).
Berdasarkan hierarki tersebut, kita harus menomorsatukan pencegahan (prevention), lalu berturut-turut penolakan (refuse), pengurangan (reduce), pemakaian kembali (reuse), daur ulang (recycle) dan yang terakhir pembuangan (disposal). Jika hierarki ini dipatuhi maka kita akan bertindak bijak dalam menggunakan plastik. Untuk mari kita telaah masing-masing tahapan dari hierarki pengelolaan sampah.Pencegahan (Prevention) : mencegah timbulnya sampah plastik di setiap kegiatan yang dilakukan. Contohnya, kita dapat membawa tas belanja yang bisa dibawa ke mana-mana terutama ketika berbelanja. Dengan membawa tas belanja sendiri, tidak ada lagi tumpukan tas plastik menumpuk di rumah dan yang dibuang begitu saja karena tidak terpakai. Contoh lainnya adalah membawa kotak makan sendiri saat membeli makanan baik di restoran cepat saji atau sekedar di tempat makan seperti warteg atau warung makanan pinggir jalan. Ketika kita memilih untuk dibungkus saja bisanya kita akan diberikan banyak plastik untuk membungkus makanan yang kita beli, apalagi jika kita membeli makanan dengan jenis berbeda-beda dan berkuah. Akan semakin banyak plastik yang digunakan untuk membungkusnya.
Penolakan (Refuse) : menolak timbulnya sampah plastik di setiap kegiatan yang dilakukan. Contohnya, kita menolak menggunakan sedotan plastik jika minuman yang kita beli dapat diminum tanpa menggunakan sedotan.
Pengurangan (Reduce) : mengurangi timbulnya sampah plastik di setiap kegiatan yang dilakukan. Contohnya, kita membawa botol minuman isi ulang untuk mengurangi minuman yang menggunakan kemasan plastik. Ini memang yang paling berat, karena seringkali saat bepergian, minuman dalam kemasan plastik mulai dari mineral, teh, soda hingga sari jeruk berbulir yang berjejer di lemari pendingin sangat menggoda.
Penggunaan Kembali (Reuse) : menggunakan kembali sampah plastik yang masih layak pakai. Contohnya, kita dapat menggunakan plastik bekas minyak goreng sebagai pengganti polybag.
Daur Ulang (Recycle) : sampah plastik dijadikan produk baru. Sekarang banyak produk barang pakai seperti tas bahkan keranjang pakaian yang dibuat dari sampah plastik.
Pembuangan (Disposal) : alternatif terakhir yang boleh dilakukan jika 5 tahapan sebelum sudah tidak memungkinkan.
Jadi, penanggulangan sampah plastik, dengan hanya mengandalkan 3R (Reduce – mengurangi, Reuse – menggunakan kembali, Recycle – mendaur ulang), tidaklah memadai. Penanggulangannya harus bersumber pada perilaku, yaitu mencegah dan mengurangi penggunaan plastik itu sendiri : dimulai dengan menutup salah satu keran sumber masalah, yaitu penggunaan sampah plastik domestik. Kiprah kita dimulai dari hal terkecil, dari diri sendiri, dan mulai saat ini. Momennya tepat, Masa Prapaskah, masa retret agung. Sehingga saat Paskah nanti rahmat penyelamatan Kristus yang bangkit mewujud lewat kiprah kita, secara pribadi maupun bersama-sama, dalam menyelamatkan bumi dari sampah plastik.
Setelah tahu dampaknya yang luar biasa bagi kehidupan alam semesta, yuk, mulai sekarang kita lebih bijaksana dalam menggunakan plastik lewat kiprah kita sehari-hari. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli? Mudah-mudahan tidak muncul pepatah : “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan sampah plastik”.
( Peter Suriadi )
(dirangkum dari Buku Pemandu Bahan Pendalaman Iman Aksi Puasa Pembangunan 2020 Keuskupan Bogor)