Sajian Utama

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2019

Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Lingkungan Hidup

Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi” (Kej 9:13)

Empat tahun lalu, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik Laudato Si’ (LS), “Terpujilah Engkau”. Dalam Ensiklik itu Paus berbicara tentang perawatan bumi, rumah kita bersama. Diilhami oleh Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Asisi, Paus mengingatkan kita bahwa bumi bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan sebagai seorang ibu yang mengasuh kita. Tetapi saudari dan ibu kita ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang ditimpakan kepadanya oleh manusia yang dengan rakus menjarah bumi. Karena kekerasan hati manusia, saat ini tanah, air, udara, dan semua makhluk hidup menderita sakit (LS 1-2).

Paus berseru agar umat Katolik bersama seluruh masyarakat dunia bangun dari sikap acuh tak acuh, membuka mata bagi kerusakan bumi dan sebab-sebabnya, dan tanpa menunda bersama-sama mencari serta mengusahakan suatu solusi sebelum terlambat. Dalam Ensiklik Laudato Si’ Bab Satu, Paus merangkum krisis bumi dengan membicarakan tiga masalah yang paling besar: polusi serta perubahan iklim, masalah air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Pada kenyataannya, krisis bumi, kerusakan rumah kita bersama, baru ditanggapi serius oleh sebagian kecil umat manusia. Ada keengganan untuk mengakui krisis itu, baik pada tingkatan pribadi sebab akan meminta perubahan gaya hidup, maupun pada tingkatan pemerintah sebab akan meminta perubahan haluan politik yang tidak menguntungkan bagi yang berkuasa di jangka pendek. Ibarat gajah berkulit tebal, banyak orang berbuat seolah-olah tak ada apa-apa; atau mengangkat tangan di hadapan masalah yang dianggap terlalu besar bagi dirinya; atau mengharapkan segalanya dari ilmu dan 16 teknologi yang diandaikan mempunyai solusi teknis bagi krisis bumi.

Akan tetapi, solusi-solusi teknis yang memang amat diperlukan, tidak akan efektif, bila masyarakat dunia tidak menyadari dan mengakui adanya masalah serius dan tidak termotivasi untuk berubah. Di sini ada tugas penting untuk agama-agama. Agama memiliki suatu visi dunia dan pandangan hidup yang – bila dihayati secara benar – akan memberi dorongan dan arahan kepada masyarakat luas, juga kepada ilmuwan, teknolog, ekonom, politisi, untuk mau bekerja sama menghadapi masalah-masalah yang sedang mengancam kehidupan di planet kita.

Karena itu, Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) tahun ini memilih tema: memberitakan kabar baik di tengah krisis lingkungan hidup. Iman kristiani mampu memberi kita suatu visi yang lebih utuh tentang makna bumi, manusia dan semua makhluk hidup lainnya, dan memberi kita motivasi untuk melindungi alam ciptaan dan sesama manusia yang paling rentan. Dengan bantuan ensiklik Laudato Si’, motivasi ekologis yang kita terima dari Alkitab dan tradisi iman kita akan digali.

Dengan mengacu pada kisah penciptaan manusia dalam kitab Kejadian, dalam LS 65 Paus Fransiskus mengatakan bahwa manusia diberi tanggung jawab khusus terhadap karya ciptaan lainnya karena manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Ini bukan surat izin untuk menempatkan diri di atas makhluk lain dan mendominasinya, bahkan merajalela. Dalam relasi antara manusia dan alam ciptaan, manusia boleh mengambil apa yang dibutuhkan dari harta bumi untuk hidup dan mengembangkan hidupnya, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk merawat dan menjamin keberlangsungan dan kesuburan bumi demi kepentingan makhluk lain dan generasi yang akan datang.

Lanjutan kisah penciptaan menceritakan bahwa manusia tidak memahami tempat dan tugasnya. Bukannya menerima jati dirinya sebagai makhluk Allah di tengah makhluk lain, manusia ingin menjadi seperti Allah, menempatkan diri di atas segala yang lain, dan menentukan sendiri apa yang baik dan buruk (Kej. 3:1-6). Dengan memberontak terhadap Allah serta kehendak-Nya, bukan hanya relasi manusia dengan Allah terguncang, tetapi juga relasi manusia dengan sesamanya terganggu (3:7-12) bahkan juga relasi manusia dengan ular dan tanah menjadi rusak (3:14-19). Bila manusia menggeser Allah dan menempatkan diri di atas dunia ciptaan, manusia menyalahgunakan perintah untuk berkuasa di tengah alam ciptaan, lalu keduanya – manusia dan bumi – menderita kesakitan dan kerusakan.

Lalu kejahatan dan kekerasan bertambah banyak di bumi. Kain membunuh adiknya, dan karena itu juga terkutuk dari tanahnya (Kej. 4:8-12). Generasi berikut yang mengembangkan teknik dan seni, jatuh ke dalam kekerasan yang berlebihan (Kej. 4:20-24). Manusia bertambah banyak dan menyombongkan diri sebagai keturunan ilahi melebihi yang lain (Kej. 6:1-4). Kesombongan manusia membuahkan kejahatan dan kekerasan yang berakhir dalam pemusnahan bumi, manusia, serta makhluk hidup lainnya (Kej. 6:5-7, 11-13).

Punahnya makhluk hidup di bumi tidak total. Masih ada manusia yang berkenan kepada Allah, Nuh, yang dilibatkan Allah dalam menyelamatkan segala jenis makhluk hidup dalam sebuah bahtera terhadap air bah yang menenggelamkan bumi (Kej. 6:8-10, 14-7:24). Allah tak hanya menyelamatkan Nuh dan segala makhluk hidup dalam bahtera, tetapi juga mengingat mereka dan memulihkan kembali bumi bagi mereka (8:1-19).

Setelah mereka keluar dari bahtera dan Nuh mempersembahkan kurban, Tuhan menyatakan kasih setia-Nya terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya. Meskipun kejahatan selalu akan timbul dari hati manusia, Tuhan tidak akan memusnahkan lagi bumi karena manusia (Kej. 8:20-22). Sebaliknya, Ia memberkati keluarga Nuh dan segala makhluk supaya bertambah banyak, dan memenuhi bumi (Kej. 8:17; 9:1,7). Allah memilih jalan lain untuk membendung kekerasan di bumi, yakni dengan menetapkan peraturan demi perlindungan hidup (Kej. 9:2-6). Dan Allah pun mengikat diri dalam suatu perjanjian bukan hanya dengan Nuh dan keturunannya tetapi dengan segala makhluk; dan mengingatkan diri-Nya akan perjanjian itu dengan suatu tanda di langit (Kej. 9:8-17). Selanjutnya, Allah tetap setia kepada bumi ciptaannya dengan memanggil Abraham untuk menjadi berkat bagi segala kaum di bumi (Kej. 12:1-3). Juga bagi bumi.

Semua makhluk adalah karya Tuhan, dijadikan oleh firman-Nya (Mzm. 33:6); dan “Tuhan bersukacita dalam semua karya-Nya” (Mzm. 104:31). Oleh karena itu, manusia jangan melihat makhluk-makhluk kesayangan Tuhan sebagai objek saja yang bermanfaat baginya dan dapat digunakan sesuka hati. Semua makhluk membentuk sebuah jaringan yang tak boleh dirusak, sebaliknya perlu didukung oleh manusia yang sendiri pun bagian dari jaringan itu; semua saling bergantung dan saling melengkapi. Kita yang adalah bagian dari keluarga besar alam ciptaan, bertugas menjaga keserasian, keadilan, dan persaudaraan di antaranya. Setiap makhluk memiliki nilai tersendiri di hadapan Allah. Keberadaannya lebih utama daripada manfaatnya bagi kita.

Kita belajar dari Yesus untuk melihat dan merenungkan pesan yang ada dalam setiap makhluk. Ketika memandang alam ciptaan Galilea dengan bunga-bunga di ladang dan burung-burung di langit, Ia melihat di situ tanda-tanda penyelenggaraan dan kasih Bapa untuk kita dan segala makhluk-Nya itu (Mat. 6:26-30). Mereka semua didandani, dibekali, dan diingat oleh-Nya, sampai yang terkecil pun (Luk. 12:6). Benih-benih yang ditaburkan dan jatuh di aneka macam tanah, atau pun biji paling kecil yang menjadi perdu sesawi yang besar, berbicara kepada Yesus tentang hal-ihwal Kerajaan Allah (Mat. 13). Yesus dapat menangkap pesannya sebab Ia hidup dalam keserasian dengan alam ciptaan. Alam, danau, angin pun taat kepadanya (Mrk. 4:39-41). Perjanjian Baru mengajar kita bahwa Kristus berelasi dengan alam ciptaan bukan hanya selama hidup-Nya di bumi ini. Relasi-Nya dengan dunia ciptaan mencakup seluruh perjalanan-Nya dari awal mula penciptaan sampai akhir zaman.

Karya keselamatan Allah melalui Kristus bukan hanya untuk umat manusia tetapi menyangkut seluruh dunia ciptaan. Alam ciptaan bukan hanya baju yang akhirnya kita tanggalkan dan tinggalkan, tetapi berziarah bersama manusia menuju Allah. Di akhir zaman, Anak akan menyerahkan segala sesuatu kepada Bapa, supaya “Allah menjadi segala di dalam segalanya” (1Kor 15:28). Tujuan akhir alam semesta pun ada dalam kepenuhan Allah, dan bukan dalam manfaatnya bagi kita (LS 100). Manusia yang diberkati dengan kecerdasan dan cinta, serta ditarik kepada kepenuhan Kristus, dipanggil untuk mengantar semua makhluk kembali kepada Asal dan Tujuan mereka (LS 83).

(dirangkum dari Gagasan Pendukung Bulan Kitab Suci Nasional 2019 oleh Peter Suriadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *