BERJALAN BERSAMA MENUJU BETHLEHEM
(Bdk. Luk 2 : 15)
Oleh : RD. Yustinus Dwi Karyanto
Perayaan Natal di Keuskupan Bogor mengambil tema “ Berjalan Bersama Menuju Bethlehem “ . Tema didasarkan dari Injil Lukas 2 : 15 Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.
Siapakah para gembala yang ditampaki oleh para Malaikat itu ? Mereka bukanlah kaum terpandang dan terhormat. Mereka bukan orang kaya apalagi bangsawan. Mereka termasuk kaum yang terpinggirkan dan tidak diperhitungkan . Namun yang mencolok dalam cara hidup mereka adalah kebersamaan , hubungan yang akrab erat di antara mereka. Mereka tidak pergi sendiri –sendiri tetapi mereka mengajak yang lain untuk pergi bersama-sama menuju ke Bethlehem .
Mengapa menuju Bethlehem ? Betlehem adalah sebuah kota kecil berlokasi sekitar sembilan kilometer selatan Yerusalem. Dalam bahasa Ibrani, Betlehem berarti “rumah roti”; juga disebut Efrata, artinya “subur.” Nabi Mikha meramalkan bahwa Mesias akan dilahirkan di Betlehem (Mikha 5:1 Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.) . Nubuat ini digenapi dengan kelahiran Yesus Kristus sesuai apa yang dikatakan dalam Injil Lukas 2 : 4-7,11 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud– supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan , di kota Daud.
Melihat kutipan di atas , kita diajak belajar dalam diri Para Gembala yang berjalan bersama menuju ke Bethlehem , untuk menjumpai Bayi Yesus , Sang Firman Allah yang menjadi manusia , Sang Penebus dosa manusia . Dari sini kita memaknai Perayaan Natal yang dirayakan Gereja yang sedang mempersiapkan menuju Sinode Gereja Universal .
MENGAPA PERLU BERJALAN BERSAMA ?
Kita menyadari terjadi berbagai perubahan sikap hidup orang di era digital ini . Ada yang positif tetapi ada juga negatif yang dapat merusak sendi hidup bermasyarakat . Salah satunya adalah menguatnya sikap individualisme. Individualisme adalah paham yang mementingkan hak perseorangan disamping kepentingan masyarakat atau negara dan menganggap diri sendiri lebih penting daripada orang lain. Seorang yang individualis biasanya kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya, dan hanya fokus pada kepentingannya sendiri. Individualis juga lebih memilih untuk melakukan segala hal sendiri tanpa dibantu oleh orang lain. Sikap individualis dapat membuat orang menjadi sombong , , menutup diri terhadap pihak lain yang berbeda dan akibatnya terisolasi dari pergaulan sosial . Tanpa disadari sikap individualis ini mempengaruhi hidup menggereja . Orang merasa cukup mengikuti Misa tetapi tidak mau mengikuti pertemuan di Lingkungan / Wilayah atau kegiatan kelompok lainnya.
Menyadari berbagai tantangan hidup dewasa ini, Gereja perlu menyadari siapa dirinya . Kardinal Carlo Martini, ahli Kitab Suci yang waktu itu Uskup Agung Milan, menyatakan bahwa Gereja tidak hidup dalam gambaran monarki tunggal, namun lebih hidup sebagai suatu communio umat Allah, sebagaimana dicita-citakan oleh Konsili Vatikan II. Gereja harus kembali pada cara hidup Gereja Perdana seperti kita baca dalam Kisah Para Rasul “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persektujuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa… Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah.” (Kis 4: 42, 46-47). Jati diri Gereja sebagai Communio / Persekutuan menyadarkan setiap anggotanya untuk meninggalkan sikap mementingkan diri dan kelompoknya / ego sektoral serta menempuh kembali semangat Berjalan bersama . Paus Fransiskus menegaskan bahwa Jalan yang ditapaki Gereja di milenium ketiga ini adalah jalan sinodal, jalan Gereja yang berjalan bersama.
BAGAIMANA KITA DAPAT BERJALAN BERSAMA ?
Sinode berasal dari kata Yunani, syn hodos, yang artinya jalan bersama-sama. Kiranya ini bukan sekedar ada bersama-sama dalam perjalanan, tetapi juga mengandung arti yang lebih dalam, yaitu sehati sejiwa dalam perjalanan iman; dalam ziarah menuju tanah air surgawi.Untuk dapat berjalan bersama yang sehati-sejiwa , maka setiap anggota Gereja mengusahakan semangat kerendahan hati . Kerendahan hati yang merupakan nilai dasar dari semua kebajikan yang lain, bahkan dipandang sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai. Kerendahan hati didapat ketika kita memandang dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Kerendahan hati tercipta ketika kita menempatkan diri secara benar di hadapan Allah Sang Pencipta dan ciptaan-ciptaan lainnya . Kerendahan menyadarkan bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan rohani , yang memandang diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik, paling pandai, dan paling maju dalam hal rohani maupun kesombongan dalam hal materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik, pangkat dan kehormatan. Orang yang rendah hati tentu saja akan berusaha meninggalkan kesombongannya sehingga mampu berjalan bersama dengan sesama dalam peziarahan di dunia ini menuju kemuliaan abadi di Surga . Kerendahan hati mendorong kita untuk mampu mendengarkan bukan hanya dari mereka yang sependapat / yang menyenangkan tetapi juga mendengarkan mereka yang selama ini tidak bersuara . Oleh karena itu , orang diajak mempunyai kepekaan hati dalam mendengarkan. Kerendahan hati juga memampukan orang untuk merangkul mereka yang selama ini terpinggirkan , terisolasi dan terkucil . Yang terpinggirkan , terkucil disambut lagi dalam suasana persaudaraan sebagai Umat Allah .
PENUTUP
Marilah kita menyambut perayaan Natal ini dengan semangat jalan bersama yang dijiwai kerendahan hati , seperti para Gembala yang bersama-sama bergegas menjumpai Bayi Yesus , Sang Juru Selamat Dunia . (RD. Yustinus Dwi Karyanto)
Naik kapal , pergi ke Maluku…
jangan lupa , bawa sekeranjang roti
Selamat Natal dan Tahun Baru
berjalan bersama dengan rendah hati