Santo Jean-Gabriel Perboyre, Martir pertama Tiongkok
SANTO JEAN-GABRIEL PERBOYRE, MARTIR PERTAMA TIONGKOK, WAFAT DI WUHAN, PUSAT DAN ASAL PANDEMI COVID-19
Santo Jean-Gabriel Perboyre, seorang pastor misionaris Vinsensian asal Perancis, menjadi martir di Wuhan (Tiongkok), pusat dan asal pandemi virus COVID-19 saat ini. Ia dikhianati oleh salah seorang katekumennya demi uang, diborgol, disiksa, diikat di kayu salib dan dicekik sampai wafat pada tahun 1840.
Anthony Clark, seorang guru besar sejarah Tiongkok, menghabiskan waktu di Wuhan untuk meneliti kehidupan Santo Jean-Gabriel Perboyre dan Santo Fransiskus Regis Clet, seorang imam Vinsensian yang hidup pada abad 19 yang juga menjadi martir di Wuhan. Clark mengatakan kedua martir Wuhan tersebut adalah para pengantara doa yang sangat tepat untuk orang-orang yang terpapar virus COVID-19 hari ini.
“Santo Perboyre dan Santo Clet keduanya dibunuh dengan dicekik; mereka wafat karena tidak bisa bernapas”, katanya. “Bagaimana mungkin mereka tidak menjadi para pengantara doa yang sangat tepat untuk penyakit khusus ini?”
“Siksaan terus menerus yang terjadi pada diri Santo Perboyre adalah pemukulan pada bagian punggung bawahnya dan ia dipaksa berlutut di atas pecahan kaca. Ia tentu tahu sakitnya penderitaan jasmani, dan akan menjadi penghiburan yang baik bagi orang-orang yang sekarang terpapar virus ini”.
Wuhan, yang sekarang terkenal sebagai asal mula virus COVID-19, dulunya merupakan garda terdepan bagi para misionaris Katolik yang mendirikan berbagai rumah sakit Katolik di kota itu.
Di luar Rumah Sakit Pusat Wuhan, tempat pelapor virus COVID-19 Dr. Li Wenliang meninggal terdapat patung misionaris asal Italia, Mgr. Eustachius Zanoli, hasil karya koresponden New York Times, Chris Buckley. Di bawah patung itu tertulis plakat dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris : “Monsinyur Eustachius Zanoli, asal Italia, adalah Uskup pertama Gereja Katolik Roma di Hubei Timur. Pada tahun 1886 ia mengundang tarekat Putri Cinta Kasih Kanosian ke Wuhan untuk memberikan pelayanan sosial dan pada tahun 1880 mendirikan Rumah Sakit Katolik Hankou, yang meletakkan dasar bagi pengembangan Rumah Sakit No. 2 Wuhan (1955) dan kemudian Rumah Sakit Pusat Wuhan (1999)”.
Fasilitas penanganan virus COVID-19 terdekat lainnya, Rumah Sakit Jinyintan Wuhan, dapat terlacak berakar pada rumah sakit penyakit menular yang didirikan oleh para misionaris Fransiskan pada tahun 1926, Rumah Sakit Katolik Mengenang Pastor Mei, Hankou. Rumah sakit tersebut mengambil nama Pascal Angelicus Melotto (1864-1923), seorang biarawan misionaris Fransiskan asal Italia yang menjadi martir di Wuhan, alias Mei Zhanchun sebagai nama Mandarinnya. Ia diculik sebagai tebusan dan kemudian ditembak di perut dengan peluru beracun pada tahun 1923.
“Saya senang wafat demi rakyat Tionghoa”, kata imam misionaris tersebut pada saat kematiannya, menurut situs Ordo Fransiskan. “Saya tinggal di Tiongkok demi rakyat Tionghoa dan sekarang saya senang wafat untuk mereka”.
Rumah Sakit Katolik Mengenang Pastor Mei, Hankou, dikelola oleh Suster-suster Fransiskan Ajaran Kristiani sampai para misionaris diusir dari Tiongkok pada tahun 1952 setelah Revolusi Komunis Tiongkok.
“Komunitas Katolik Wuhan telah sangat menderita selama era Ketua Mao dan Revolusi Kebudayaan, dan selama masa itu mereka menyembunyikan batu nisan Santo Perboyre dan Santo Clet untuk melindungi kedua, karena devosi mereka yang mendalam kepada kedua martir itu”, kata Clark.
“Ketika saya berada di sana saya mengunjungi seminari di mana dua batu nisan sekarang dipajang untuk dihormati; Umat Katolik Wuhan memiliki devosi yang besar pada Ekaristi dan pada para Vinsensian, seperti Perboyre dan Clet, yang wafat demi mereka, dan menumpahkan darah mereka di tanah kota itu”, tambah Clark.
Banyak misionaris berangkat ke Tiongkok pada abad 19 dengan pemahaman bahwa mereka tidak akan pernah kembali.
“Saya tidak tahu apa yang menanti saya di jalan yang terbuka di hadapan saya : tanpa meragukan salib, yang merupakan roti harian misionaris. Apa yang bisa kita harapkan untuk menjadi lebih baik, berkhotbah tentang Allah yang disalibkan?”, tulis Santo Perboyre dalam sebuah surat selama perjalanannya ke Tiongkok.
Jasad Perboyre akhirnya dipindahkan ke Paris ke rumah induk Vinsensian. Hari ini makamnya terletak di kapel samping di gereja yang sama di mana jasad Santo Vinsensius a Paulo yang masih utuh berada. Ia dibeatifikasi pada tahun 1889 oleh Paus Leo XIII.
“Santa Térèsa dari Lisieux memiliki devosi khusus kepada Perboyre dan menyimpan kartu suci yang didedikasikan kepadanya dalam buku doa pribadinya”, kata Clark.
Pada kanonisasi Perboyre tahun 1996, Santo Yohanes Paulus II berkata : “Di sepanjang jalan di mana ia diutus, ia menemukan Salib Kristus. Melalui peneladanan Tuhannya sehari-hari, dengan kerendahan hati dan kelembutan, ia sepenuhnya mengidentifikasikan diri dengan-Nya. … Setelah disiksa dan dihukum, mereka ulang sengsara Yesus dengan kemiripan yang luar biasa, seperti Dia ia menyongsong ajal dan wafat di kayu salib”.
Santo Yohanes Paulus II mengkanonisasi Santo Fransiskus Regis Clet pada bulan Oktober 2000, bersama dengan 33 misionaris lainnya dan 87 umat Katolik Tiongkok yang wafat sebagai martir di bawah Dinasti Qing (1644-1911).
Michael Fu Tieshan, seorang uskup gereja yang dikelola pemerintah Tiongkok, Lembaga Patriotik Katolik Tiongkok, menyebut kanonisasi sebagai “penghinaan publik” dalam sebuah wawancara dengan televisi yang dikelola pemerintah, sebagaimana dilaporkan AP pada saat itu.
“Uskup patriotik” pertama yang diangkat oleh pemerintah Komunis Tiongkok pada tahun 1958 berasal dari Wuhan. Dong Guangqing, yang meninggal pada 2007, adalah ketua Lembaga Patriotik Katolik Wuhan dan wakil ketua Komite Administrasi Nasional Gereja Katolik Tiongkok.
Saat ini, umat Katolik di Wuhan memiliki devosi khusus kepada Santo Fransiskus Regis Clet dan Sakramen Tobat, kata Clark.
Umat Katolik di Wuhan “diketahui membuat antrean panjang di dekat kamar pengakuan para imama yang paling setia dengan ajaran otentik Gereja; mereka adalah sebuah kesaksian yang indah”, kata Clark.
“Jarang sekali menemukan gereja tanpa patung Santo Fransiskus Regis Clet, dan terkadang devosi kepada Santo Vinsensius a Paulo. Iman di sana kuat, dan bahkan berkembang terutama pada masa penganiayaan”, tambah Clark.
“Saya memang pernah mendengar dari beberapa umat Katolik selama masa ini, dan mereka, seperti kita semua, berpaling kepada Tuhan dan kerahiman-Nya ketika kita semua menghadapi kerapuhan kita sendiri”, katanya. “Saya baru-baru ini mendengar dari seorang penganut Protestan Wuhan yang berkomentar tentang kesedihan menyaksikan para anggota gereja mereka yang telah berusia lanjut meninggal. Trauma di dalam komunitas Kristiani Wuhan telah banyak dibantu melalui iman yang kuat dari umat Kristiani di daerah itu”.
( Peter Suriadi – Bogor, 10 April 2020 )
Sumber : Catholic News Agency