RD. Yustinus Dwi Karyanto – Gereja itu Perjumpaan
Ketika ditugaskan di Paroki Sukasari Romo Dwi merasa seperti kembali ke rumah saja. Romo Yustinus Dwi Karyanto ditahbiskan pada 8 Desember 1995 di Gereja St. Fransiskus Asisi. Kemudian saat menjadi imam muda tahun 1996-1997 beliau juga masih bertugas di Paroki Sukasari.
Sebelum di Paroki Sukasari Romo Dwi bertugas di Paroki St. Josept Sukabumi selama 4,5 tahun. Tahun 2010-2016 di Paroki St. Herkulanus, Depok. Tahun 2004-2010 di Paroki Rangkas Bitung. Ringkas cerita Romo Dwi ini sudah berpengalaman bertugas menjadi Pastor Paroki.
Ketika ditanya mengapa tertarik menjadi Pastor? Jawabnya faktor lingkunganlah yang membentuk. Romo Dwi lahir di Banyaan, Magelang, 26 September 1965 dari keluarga Katolik. Beliau anak ke – 2 dari 4 bersaudara. Kakak pertamanya seorang katekis, sementara orang tuanya aktif di lingkungan dan menjadi ketua lingkungan.
Letak rumah yang berdekatan dengan Seminari Mertoyudan pun membuat Romo Dwi kecil terbiasa bergaul dengan seminaris. Terlebih ia suka sekali membaca majalah rohani dan cerita santo-santa. Keinginan Romo Dwi untuk menjadi misionaris yang bertugas di tempat yang jauh akhirnya pupus, ketika orang tuanya berharap untuk menjadi Pastor yang dekat-dekat saja, agar mudah dikunjungi.
Membaca, menonton adalah kesukaan Romo Dwi disaat mengisi waktu kosong. Bahkan dahulu suka membuat puisi, “maka kalau pindahan itu yang paling berat memindahkan buku-buku saya” ungkapnya sambil berkelakar. “Karena saya tidak merokok jadi kalau punya uang sisa biasanya saya belikan buku, meski belum sempat dibaca kalau sudah memilliki itu sudah senang”, imbuhnya terbahak.
Berkaitan dengan pandemi covid-19, Romo Dwi tidak bisa menampik bahwa Pastoral pun mau tidak mau mengikuti cara-cara pendekatan yang baru. Pendalaman iman, pertemuan-pertemuan, rapat di komunitas menggunakan teknologi seperti zoom, google meet dan lain sebagainya, dan digunakan secara maksimal. Meskipun ada keterbatasan, tapi itulah yang Tuhan berikan saat ini dan bisa dipergunakan. Sampai kita semua punya kekebalan dan kembali pada kehidupan normal kembali. Sesungguhnya Gereja itukan perjumpaan, dengan pandemi ini perjumpaan menjadi dibatasi. Kalau ada perjumpaan itupun hanya sebentar.
Dampak pandemi juga merusak tatanan rantai ekonomi, tidak sedikit umat katolik yang pendapatannya berkurang atau kehilangan pekerjaan. “Kita juga memberikan dukungan spiritual kepada mereka yang terdampak, karena Gereja juga mengakui adanya keterbatasan”, ujarnya.
Ia berharap bantuan itu lebih pada pengembangan supaya mereka bisa berkembang. Karena kalau hanya klaritatif saja itu tidak mendidik. “Kita akan mencoba memberikan bantuan yang memberdayakan”, tegasnya. Paling tidak dikalangan umat mendorong untuk saling membantu satu dengan yang lain. Gereja sebagai institusi masih punya keterbatasan, maka gereja mendorong umat untuk saling membantu satu dengan yang lain, minimal tetangga terdekat. Maka ke depan perlu adanya pendataan, paling tidak di internal umat katolik terlebih dahulu. Pendataan ini penting karena yang akan diberi bantuan itu adalah orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
( Anto )