Pandemi Membangkitkan Empati
Baru saja dibuka perumahan baru kelas premium di Bogor tak disangka dalam sekejap sudah habis terjual. Sementara di satu sisi ada yang mau ambil rumah RSS atau rumah bersubsidi mengurungkan niatnya lantaran gajinya dipotong bahkan ada yang terkena PHK karena pandemi. Seketika dunia seperti terbelah menjadi 2 (dua) sisi. Ada yang harus bergegas keluar rumah mencari nafkah untuk menyambung hidup. Tetapi ada satu sisi yang cukup berdiam di rumah sampai pandemi covid-19 berlalu dengan mengandalkan tabungannya.
Sejak Pemerintah mengeluarkan darurat Covid-19 diawal bulan Maret, kemudian diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa daerah. Praktis melumpuhkan semua sendisendi ekonomi. Para pelaku ekonomi dari semua sektor dari level yang tertinggi sampai level terendah seperti pedagang kaki lima, tak berdaya. Pasrah akan keadaan, berharap pandemi segera berlalu.
Banyak kantor-kantor megah bertingkat tutup, pusat-pusat pembelanjaan setengah buka setengah tidak, pasar tradisional yang tidak lagi ramai karena adanya pembatasan sosial. Pedagang kaki lima yang lesu menunggu pembeli, kuli bangunan yang ngangur karena tidak ada proyek, salon-salon kecantikan yang tutup, bahkan resto-resto menengah ke atas terpaksa harus menjajakan produk makannnya di pinggir jalan sambil berteriak harga diskon, belum lagi para pekerja di sektor hiburan seperti entertainment, event organizer, wedding organizer, konser musik dan lain sebagainya. Demikian dunia pendidikan seperti sekolah, kampus dan tempat-tempat bimbingan belajar lainnya. Sampai kapan pandemi ini benar-benar berakhir? belum ada yang tahu, yang jelas pertumbuhan ekonomi secara makro ikut terpuruk.
Di tengah situasi yang serba sulit ini untunglah solidaritas sosial tumbuh baik di level individu maupun masyarakat secara komunal. Saling berbagi antar sesama, yang berkecukupan memberi yang berkekurangan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat sangatlah spontan, seperti ada yang berinisiatif memberikan paket makanan kepada tukang ojol (setelah melihat video viral bagaimana nasib para tukang ojek online ketika awal diberlakukannya PSBB). Sikap empati ini diikuti warga perumahan yang mencantolkan makanan di pagar-pagar rumah mereka, dan mempersilakan bagi siapa saja yang membutuhkan untuk mengambilnya. Ada alumni-alumni dari berbagai sekolah yang mengadakan kegiatan olahraga untuk menggalang dana kemanusiaan untuk korban pandemi. Banyak cara yang dilakukan untuk membantu sesama.
Demikian pula ditingkat RT/RW bila ada salah satu warganya yang harus di isolasi mandiri karena terpapar Covid-19, warga yang lain saling bantu membantu untuk men-suport keperluan sandang pangan warga tersebut. Kegiatan-kegiatan solidaritas seperti ini juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Baik perusahaan berskala menengah, besar maupun kecil. Tak menutup kemungkinan lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun keagamaan. Seperti yang juga dilakukan oleh Paroki Santo Fransiskus Asisi – Sukasari melalui seksi PSE yang memberikan bantuan berupa sembako kepada umat yang berkekurangan dan kehilangan penghasilan selama pandemi Covid-19.
Seiring perjalanan waktu, perlahan namun pasti roda-roda ekonomi sudah mulai berjalan, setidaknya terlihat pada akhir pekan Kota Bogor sudah ramai dikunjungi pelancong yang hendak berwisata sambil berkuliner bersama kerabat atau sanak-saudara (dengan mengikuti protocol kesehatan). Meski pandemic ini belum berakhir, warga mau tidak mau dituntut untuk berani namun tetap berhati-hati untuk melakukan aktivitasnya. Pedagang tetap membuka tokonya, sopir angkot tetap harus menyalakan mesin mobilnya, para pekerja juga harus berani ke kantor meski ada waktu untuk WFH (work from home).
Ada sebagian ekonom yang beranalisa kalau ekonomi Indonesia akan kembali pulih pada tahun 2022. Tetapi ada juga analisa yang memperkirakan perekonomian kita baru bisa kembali normal seperti sebelum pandemi itu baru di tahun 2023. Mana yang benar? Semuanya belum pasti, yang jelas pemulihan ekonomi setelah pandemi memerlukan waktu yang tidak sebentar. Belum lagi bila “diganggu” dengan situasi politik yang masih terus bergejolak. Siapa yang jadi korban? Ya semua warga negara, terutama bagi mereka yang hidupnya pas-pasan, yang tidak memiliki tabungan, yang berkerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan hari ini, minggu ini atau bulan ini. Belum lagi angkatan kerja yang sulit untuk mendapat pekerjaan dan orang yang bekerja di level bawah yang sewaktu-waktu di rumahkan atau di PHK dengan alasan perusahaan tidak mampu lagi menahan kerugian terus menerus.
Dalam situasi yang serba susah dan salah ini, perlu adanya gerakan solidaritas, gotong royong sebagai sesama warga negara. Warga yang lebih mampu dan tidak berkekurang dapat membagikan sebagian miliknya bagi yang berkekurangan yang berada di titik nol. Seperti pesan yang diserukan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium dan tersirat dalam buku ROAD MAP II Kebijakan Pastoral Transformatif Keuskupan Bogor Tahun 2020-2030, yang menegaskan agar gereja keluar, hadir dan terlibat jika perlu kotor berdebu dan berdarah, dibandingkan hanya tinggal dan sibuk dengan menyelamatkan kenyamanannya sendiri.
Gereja sebagai kesatuan umat Allah di saat Natal ini, hendaknya juga mencari bayi Yesus di tempat-tempat yang kumuh, di rumah-rumah bilik kayu. Di tempat-tempat sunyi dimana dapat dijumpai orang-orang yang gelisah tak bisa tidur nyenyak karena menahan lapar, dingin dan kehilangan harapan. Karena disanalah Sang Mesias hadir.
( A. Sudarmanto )