Ketakutan Yang Menindas
Pecinta tinju, terutama kelas berat, pasti mengenal legenda tinju dunia bernama Mike Tyson. Petinju berjulukan Si Leher Beton itu mengawali debut profesionalnya pada tahun 1985. Tidak membutuhkan waktu lama, setahun kemudian ia sudah bisa mengukuhkan diri sebagai juara dunia kelas berat versi WBC (World Boxing Council) dengan mengalahkan Trevor Berbick melalui kemenangan TKO (Technical Knock Out) di ronde kedua. Ia sekaligus mencatatkan diri sebagai juara dunia termuda di kelas berat sepanjang sejarah dalam usia 20 tahun. Lalu, gelar juara badan tinju dunia lain, versi WBA (World Boxing Association) dan IBF (International Boxing Federation) berhasil disatukannya setelah ia mengalahkan James Smith dan Tony Tucker pada tahun 1987.
Sepak terjang Si Leher Beton sebagai seorang petinju demikian mengerikan karena rata-rata ia mampu menghajar sebagian besar lawannya melalui kemenangan TKO (Technical Knock Out) atau KO (Knock Out). Syamsul Anwar Harahap, legenda tinju amatir Indonesia dan kolumnis tinju, mengemukakan bahwa keberhasilan Mike Tyson di atas ring bukan semata-mata karena kedigdayaannya, tetapi juga karena ketakutan para lawan melihat kekuatannya. Syamsul Anwar Harahap mengatakan bahwa kebanyakan lawan Mike Tyson sudah kalah sebelum bertanding karena ketakutan melihat keberingasannya dalam pertandingan-pertandingan terdahulu. Nyali mereka ciut karena ketakutan yang menindas sejak sebelum baku pukul dimulai.
Sebelum merayakan Paskah, kita juga dibawa ke dalam situasi ketakutan yang menindas yang pernah terjadi dalam sejarah. Ketakutan yang menindas pada saat wafat Tuhan, ketakutan yang menyelusup ke lubuk hati para murid yang berdiri tanpa kata di kaki salib. Mereka berdiri membisu sedih dalam ketakutan. Kata-kata apa yang bisa terucap pada saat seperti itu?
Di hadapan ketidakadilan yang mengutuk Sang Guru serta umpatan dan kesaksian palsu yang dialami Sang Guru, para murid tidak bisa berkata apa-apa. Selama jam-jam sengsara yang menyakitkan dan menyusahkan, para murid secara dramatis mengalami ketakutan untuk mempertaruhkan nyawa mereka guna berbicara mewakili Sang Guru. Mereka bukan saja tidak mengakui-Nya, tetapi mereka bersembunyi, mereka melarikan diri, mereka tetap membisu (bdk. Yoh 18:25-27). Mereka mati rasa, lumpuh dan mengalami ketidakpastian akan apa yang harus dilakukan di tengah situasi yang begitu menakutkan tersebut, situasi yang seolah-olah tidak dapat mereka kendalikan. Bahkan lebih buruk lagi, mereka yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk membalikkan seluruh situasi ketakutan tersebut.

Situasi ketakutan yang menindas ini kiranya merupakan cerminan diri kita, murid-murid Yesus masa kini. Dalam masa pandemi COVID-19 yang tampaknya tidak kunjung usai ini, kita mengalami penurunan pendapatan, dan bahkan kehilangan pendapatan. Kita cemas dan takut tidak bisa menghidupi keluarga. Kita mengalami corona fobia, yakni respon berlebihan yang dipicu karena takut tertular virus COVID-19 yang menyebabkan kekhawatiran berlebihan disertai gejala fisik seperti jantung berdebar, tremor, sulit bernapas, pusing, hingga perubahan nafsu makan dan pola tidur. Situasi ketakutan menindas kita dan kita pun terpaku membisu di tempat seolah-olah tidak berdaya menghadapinya.
Situasi ketakutan yang menindas berujung kita kehilangan arah karena terjerumus ke dalam rutinitas yang sedang menghancurkan dengan merampas ingatan, membungkam harapan, dan membawa untuk berpikir bahwa “demikianlah berbagai hal pada akhirnya”. Kita kewalahan karena tidak memiliki apa-apa untuk diucapkan dan akhirnya memikirkan “lumrah” dan sangat biasa kata-kata Kayafas yang menyepakati kebinasaan Yesus : “Tidakkah kamu insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa?” (Yoh. 11:50).
Di tengah ketakutan yang menindas dengan begitu kuat, kita tidak menyadari batu-batu mulai berteriak (bdk. Luk 19:40)[1] dan melapangkan jalan bagi pesan teragung yang pernah didengar dalam sejarah : “Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit” (Mat 28:6). Batu di depan kubur itu berteriak dan mewartakan pembukaan jalan baru bagi semua orang. Batu di depan kubur itu yang pertama-tama menggemakan kemenangan kehidupan atas semua orang yang telah berusaha untuk membungkam dan mencekik sukacita Injil. Batu di depan kubur itu yang pertama-tama melompat dan dengan caranya sendiri melantunkan madah pujian dan keheranan, madah sukacita dan harapan, yang mengundang kita untuk bergabung.
[1]Aku berkata kepadamu : “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak.
Di tengah ketakutan yang menindas, kita tidak menyadari bahwa kita diajak untuk merenungkan kubur kosong dan mendengarkan kata-kata malaikat : “Janganlah kamu takut … sebab Ia telah bangkit” (Mat 28:5-6). Kata-kata itu seharusnya mempengaruhi keyakinan dalam lubuk hati kita, cara-cara kita menilai dan berurusan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan kita sehari-hari, terutama cara-cara kita berhubungan dengan sesama. Kubur kosong seharusnya mendorong kita untuk yakin dan percaya bahwa Allah “terjadi” dalam setiap situasi dan setiap orang serta terang-Nya dapat bersinar di sudut-sudut kehidupan kita yang paling tidak diharapkan dan paling tersembunyi. Ia bangkit dari antara orang mati, dari tempat di mana tak ada orang yang menanti apa pun, dan sekarang Ia menanti kita – seperti Ia menanti para perempuan – untuk memungkinkan kita ikut serta dalam karya penyelamatan-Nya. Atas dasar dan dengan kekuatan inilah kita menempatkan kehidupan dan energi, kecerdasan, kasih sayang dan kehendak kita, pada pelayanan untuk menemukan, dan terutama menciptakan, cara-cara martabat.
Ia tidak ada di sini … Ia telah bangkit! Inilah pesan yang menopang harapan kita dan mengubahnya menjadi tindakan amal kasih. Seberapa besar kita perlu membiarkan ketakutan dan kerapuhan kita diurapi oleh pengalaman ini! Seberapa besar kita perlu membiarkan iman kita dihidupkan kembali! Seberapa besar kita memerlukan cakrawala-cakrawala rabun dekat kita ditantang dan diperbarui oleh pesan ini! Kristus telah bangkit. Ia membuat harapan dan kreativitas kita bangkit sehingga kita dapat menghadapi segala permasalahan kita saat ini dengan kajian bahwa kita tidak sendirian.
Merayakan Paskah berarti percaya sekali lagi bahwa Allah terus menerus menerobos masuk ke dalam sejarah pribadi kita, menantang kita untuk keluar dari ketakutan yang melumpuhkan kita. Merayakan Paskah bermakna memperkenankan Yesus berkuasa atas ketakutan yang dahsyat yang sering menyerang kita dan mencoba mengubur segala macam harapan. Dengan pemaknaan tersebut, apakah kita masih lebih suka hanya terus berdiri tanpa berkata-kata di hadapan peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama di tengah pandemi COVID-19, ataukah kita ingin ikut serta dalam pesan kehidupan yang bersumber dari kebangkitan Yesus?
( Peter Suriadi )