Keluarga, Jadilah Sebagaimana Seharusnya
Sejak awal saat sepasang pengantin menerima sakramen pernikahan ada salah satu janji yang mereka ucapkan yaitu akan mendidik anak-anak yang nanti lahir dengan iman Katolik. Salah satu dimensi iman Katolik adalah nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya perlu dikenalkan, ditumbuhkan, di contohkan dalam kehidupan keseharian orang tua kepada anak-anaknya.
Salah satu pesan Paus Benediktus XVI pada pertemuan keluarga internasional di Mexico, 18 Januari 2009 adalah mengajak keluarga-keluarga merefleksikan dan melakukan intropeksi atas identitas dan tugas perutusan keluarga sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman dengan tolak ukur Keluarga Kudus, pelindung keluarga kristiani. Keluarga kudus ditunjukan oleh Bapa Yosef dan Bunda Maria dimana sebagai orangtua mereka membesarkan Yesus dalam lingkungan yang penuh kasih dan ketaatan pada agama dan norma-norma hukum hingga Yesus bertumbuh dalam kebijaksanaan.
Di era modern sekarang ini hal-hal apa yang menjadi penghambat dalam keluarga untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan ? Pertanyaan ini penting agar yang berperan sebagai orang tua mampu mengantisipasi dan melakukan rencana strategi untuk menghadapi tantangan dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam keluarga. Salah satu tantangan seriusnya adalah situasi dan kondisi lingkungan yang di warnai oleh sarana komunikasi modern. Komunikasi modern ini mempengaruhi pembentukan kepribadian anggota keluarga dimana kerap sarana komunikasi modern ini menyampaikan berita dan acara yang bertentangan atau menyimpang dari nilai-nila iman katolik. Bukan berarti kita harus menolak terhadap keberadaan sarana komunikasi tersebut tapi justru sebaliknya bagaimana keluarga dapat memanfaatkannya sebagai sarana mewartakan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti membaca kitab suci secara on-line, menyaksikan film bersama-sama anggota keluarga yang memberi inspirasi untuk berbuat kebaikan, berbagi cerita atau menyapa sesama anggota keluarga melalui video call bila karena situasi harus tinggal berjauhan, dan lain sebagainya.
Melalui himbauan apostoliknya Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan “Keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya” keluarga harus membangun kerjasama dengan komunitas sekolah, Negara dan Gereja dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman. Ketiga lembaga tersebut yaitu sekolah, negara dan gereja dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab memberikan pendidikan kemanusiaan kepada anak-anak bersifat kontributif, sementara pendidik utama dan pertama adalah tugas orangtua.
Keluarga sejatinya perlu memiliki kurikulum sederhana sejenis komitmen bersama untuk menciptakan suasana dan semangat kebersamaan yang mendukung bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan pada setiap anggota keluarga. Dinamika dan problematika keluarga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebagai contoh bila salah satu anggota keluarga sakit maka orang tua berbagi tugas dengan anak-anak untuk menjaga, melayani dan menemani yang sakit, atau bila anak-anak dalam penggunaan sarana belajar di rumah diminta untuk bergantian seperti laptop, juga sejak dini anak-anak di ikutsertakan dalam kegiatan berdoa bersama di lingkungan, bergabung dengan komunitas anak-anak bina iman remaja dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan proaktif di dalam keluarga seperti orang tua mencontohkan dengan turut aktif dalam kegiatan pelayanan di gereja, orang tua selalu berdoa sebelum tidur, sebelum makan, menerima doa lingkungan di rumah, anak-anak dengan sendirinya akan melihat dan ikut melakukannya seperti ada teori Social Learning dari seorang Ahli Psikologi Pendidikan dari US, Albert Bandura “CHILDREN SEE CHILDREN DO” menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain yang dianggap mempunyai nilai lebih kemudian mencontoh nya. Sebagai contoh pilihan chanel tv yang biasanya orang tua tonton akan menjadi referensi anak saat ia harus memilih jenis tontonan apa yang ia akan lihat. Cara seorang suami berkomunikasi dengan istrinya dari mulai nada, intonasi dan pilihan kata yang digunakan akan di amati, di dengar dan di tiru oleh anak-anak saat mereka berkomunikasi, juga kebiasaan orang tua berempati pada setiap tamu yang datang ke rumah atau cara menyapa setiap orang yang ditemui akan menjadi referensi anak-anak dalam membangun sikap yang harapannya di penuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Kembali kepada penegasan bahwa orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak dalam kehidupan iman dapat ditemukan dalam kitab suci dan beberapa ajaran Gereja seperti dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Kitab Suci Perjanjian Baru, Paus Pius XI dan Konsili Vatikan II dan Paus Yohanes Paulus II
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, banyak ayat yang berbicara tentang pendidikan anak dalam keluarga seperti Kitab Amsal, kitab Ulangan 6:6-7 yang menekankan para bapa keluarga harus mengajar anak-anaknya terutama dalam hal kepercayaan dan praktek religius.
Dalam Perjanjian Baru, dalam kisah kanak-kanak Yesus yang dibesarkan dalam keluarga kudus di lingkungan adat Yahudi digambarkan sebagai keluarga yang taat dan patuh terhadap peraturan dan hukum adat Yahudi. Salah satunya saat Yusuf dan Maria selalu pergi ke Yerusalem setiap Paskah.
Paus Pius XI menyatakan bahwa Gereja terpanggil untuk membela dan mempertahankan hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, tetapi Gereja sekaligus menuntut orangtua mempermandikan dan mendidik anak-anak secara kristiani. Sementara itu dalam Konsili Vatikan II, FC.36, keluarga merupakan jembatan antara setiap anak dan masyarakat. Keluarga harus menjadi “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat”, tempat anak-anak dapat belajar tentang tata nilai dalam masyarakat.
Selayaknya kita sebagai keluarga Kristiani menjadikan kehidupan keluarga dapat menjadi sekolah yang membawa, mengembangkan pribadi anak-anak kepada kedewasaan seutuhnya. Pendidikan dalam keluarga yang bersifat formatif dan transformatif, formatif yang mewujudkan kemampuan-kemampuan nyata yang menghasilkan kemampuan dan kemahiran lahiriah, dan transformatif dimana yang dikembangkan dapat merubah kepribadian yang mendasar. Sehingga anak-anak dapat memahami dan merasakan cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Kehidupan keluarga yang mengarahkan anak-anak pada tujuan akhir yakni persatuan dengan Allah sendiri.
(Lucia Vivi Anita)